Kekosongan edukasi kesehatan reproduksi (kespro) memiliki efek domino yang panjang terhadap remaja, hingga lingkungannya. Seorang guru sekolah menengah pertama (SMP) di Bandar Lampung, Sri Mulyani, atau akrab dipanggil Ani, pernah mendapatkan laporan dari warga sekitar mengenai terdapatnya sejumlah pembalut bekas menstruasi yang dilemparkan ke belakang pagar sekolah oleh para muridnya.
“Sekolah kami pernah diprotes oleh warga sekitar. Jadi di belakang itu, ada pagar. Itu ternyata anak-anak perempuan itu kalau sedang menstruasi, dia tidak mengerti cara membuang (pembalut) sehingga dia membuangnya dilempar ke seberang pagar,” kisah Ani.
Masalah lain yang sempat ditemukan adalah tersumbatnya toilet sekolah karena murid yang membuang pembalut di toilet. Ani menilai serangkaian masalah tersebut terjadi karena mereka tak mendapatkan edukasi mengenai manajemen kebersihan menstruasi (MKM) yang menjadi bagian dari edukasi kespro.
Tak hanya itu, kosongnya pengetahuan kespro juga memiliki rangkaian dampak lainnya, seperti tingginya angka kehamilan tidak diinginkan (KTD), perkawinan anak, hingga putus sekolah. Seorang guru SMP asal Semarang, Anita Rakhmi Shintasari, juga kerap menemui permasalahan putus sekolah di tempatnya mengajar.
“Sering terjadi kasus siswa yang putus sekolah. Alasannya ini sangat beragam sekali, ada yang motivasi belajar rendah, ada yang konsep dirinya kurang baik, ada yang salah bergaul dan ditemukan beberapa siswa yang memutuskan untuk tidak lanjut belajar itu karena menikah di usia remaja,” ungkap Anita.
Remaja juga mengalami banyak sekali perubahan di masa pubertas mereka, baik secara fisik, hormon, emosi, hingga secara natural mulai muncul ketertarikan untuk membangun relasi romantis. Dalam pengalamannya, Anita pun menemukan banyak masalah relasi yang turut berdampak ke pendidikan hingga kesehatan murid di sekolahnya.
“Beberapa kasus yang pernah terjadi itu, ada yang ingin bunuh diri karena diputuskan oleh pacarnya, ada yang kabur dari rumah ikut pacarnya hingga tidak pulang, dan itu terjadi rata-rata pada anak perempuan, dan mayoritas mereka itu sudah duduk di kelas 9 ketika masalah-masalah itu muncul,” kisah Anita.
Edukasi mengenai relasi sehat dan regulasi emosi juga menjadi bagian yang tak lepas dari kesehatan reproduksi. Seluruh pembelajaran tersebut terdapat dalam program atau modul SETARA yang baru dikenal oleh Anita sejak tahun 2017.
“Akhirnya, dari sini, saya memutuskan untuk melayani dari yang kelas 7 sehingga saya bisa mengantisipasi masalah-masalah tersebut. Sekali pun belum tentu ke semua siswa, tetapi setidaknya ketika kita bisa memberikan edukasi kepada anak-anak yang rentan itu, bisa cukup membantu agar angka putus sekolah ini bisa dikurangi,” ungkap Anita.
Saat ini, modul SETARA mulai diimplementasikan oleh sejumlah sekolah di beberapa kota berbeda untuk mengajarkan persoalan kespro kepada muridnya. Sejumlah guru pun ditunjuk untuk mempelajari modul ini dan mengajarkannya kembali ke murid-muridnya. Salah satu guru yang berkesempatan untuk belajar modul SETARA adalah Bintang, seorang guru ilmu pengetahuan alam (IPA) di SMP kawasan Denpasar.
Bintang ditunjuk oleh kepala sekolahnya untuk mengikuti pelatihan SETARA pada tahun 2017. Bintang mendapatkan pelatihan tersebut dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Dalam prosesnya, Bintang pun terkejut akan seberapa banyak hal baru yang ia pun baru pahami.
“Sebelum saya terpapar soal gender, saya juga mengatakan kalau ketua kelas itu laki-laki dan sekretaris itu perempuan. Jadi tanpa kita sadar, kita juga menjalankan stigma-stigma itu,” ungkap Bintang saat kilas balik mempelajari materi mengenai kesetaraan gender di SETARA.
“Dulu mungkin tantangannya adalah ketidakpahaman, ketabuan. Sekarang hampir semua setuju PKRS, masalahnya justru belum ada komitmen finansial (dari pemerintah) sehingga belum jadi prioritas pendidikan,” tutur Sandeep Nanwani, Program Officer bidang Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja UNFPA Indonesia.
Dalam pelatihan tersebut, Bintang menyadari bahwa banyak hal yang juga tak pernah diajarkannya saat ia masih remaja. Salah satu hal yang paling ia ingat adalah masalah kekerasan dalam pacaran (KDP), masalah yang familiar untuk dilihat oleh Bintang pada masa remajanya.
“Saya saja merasa, kenapa ya kok saya dulu nggak dapat pelajaran ini? Jadi saya ya waktu di pelatihan itu malah flashback,” ujar Bintang.
Perjalanan Bintang selama mempelajari SETARA, ia tuangkan dalam tulisan yang harapannya akan ia jadikan sebuah buku, tulisannya menceritakan tentang proses perubahan konsep berpikirnya terkait nilai-nilai kesehatan reproduksi dan gender.
“Jadi saya merasa sebagai guru itu ingin menjadi bagian dari siswa-siswi saya dalam menghadapi masa remajanya supaya tidak seperti saya, kayak ‘kemana saya harus cerita? Ke mana saya harus bertanya?’, kan nggak mungkin saya harus bertanya ke Google terus,” ungkap Bintang.
Sebagaimana yang dialami oleh Bintang, Ani dan Anita pun mengawali pembelajaran kesehatan reproduksi secara lebih mendalam melalui SETARA. Selepas memahaminya, baru mereka dapat untuk mengajarkan kembali ke murid-muridnya.
“Di awal-awal, kami difasilitasi oleh PKBI Lampung untuk mendapatkan materi ini (SETARA). Kemudian dilanjutkan ke sekolah-sekolah,” ingat Ani.
Selepas belajar SETARA, para guru mendapatkan pendekatan dan perspektif yang berbeda dalam mengajarkan hingga menyelesaikan permasalahan-permasalahan kespro yang dihadapi oleh murid-muridnya. Dalam pengalaman Anita sebagai guru bimbingan konseling (BK), cara mengajarnya pun turut berubah.
“Dulu saya sebagai guru BK lebih banyak melakukan aktivitas ceramah atau menerangkan di depan kelas yang menurut saya itu jadi membosankan buat anak-anak,” kisan Anita.
“Ketika pulang dari pelatihan (SETARA), itu saya menemukan beberapa aktivitas permainan yang bisa saya bawakan ke anak-anak dalam proses pembelajaran. Dari situ, mulai ada hubungan yang lebih erat sehingga anak-anak lebih mudah terbuka dan juga mereka lebih mudah untuk bercerita sehingga ada ruang yang terbangun interaksi,” lanjutnya.
Pendekatan untuk penyelesaian masalah pun menjadi lebih memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh anak. Salah satu contohnya adalah pendekatan penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan kespro, seperti KTD pada anak dan sebagainya.
“Proses penyelesaiannya menjadi berbeda sebelum ada SETARA dengan setelah ada. Sekarang di sekolah, bagaimana kami menyampaikan masalah-masalah seperti yang disampaikan itu memang baik lewat bimbingan,” kisah Anita.
Anita merasa remaja yang sedang dalam masa transisi ini sangat butuh pendampingan untuk dapat mengenal diri dan tubuhnya dengan baik terkait informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas. Untuk itu, penting adanya keterbukaan dalam proses pendekatan belajar.
“Memandangnya menjadi lebih ke sudut pandang yang berbeda, bukan hanya menggunakan sudut pandang yang berkaitan dengan nama baik sekolah saja, tetapi jadi lebih terbuka. Kita harus bisa menerima anak dengan sepenuh hati dan apa adanya, bisa memberikan pendampingan yang sebaik-baiknya, jadi lebih memperhatikan hak-hak anak itu sendiri,” lanjut Anita.
Perjalanan Anita dalam melakukan pendampingan kepada murid-muridnya ini, ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul ‘Serunya Belajar Kespro dengan Modul SETARA’. Dalam bukunya, ia menceritakan bahwa kesehatan reproduksi remaja tidak perlu lagi dianggap tabu. Sama sepertinya halnya orang dewasa, remaja juga punya kesempatan untuk bertanya dan membicarakan hal-hal terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk memahami perkembangan dirinya.
“Penyampaian informasi dan pengetahuan tentang kespro yang tidak menyeluruh dapat menyesatkan remaja dan justru memicu timbulnya masalah pada remaja”, ungkap Anita saat menceritakan isi bukunya.
Sejumlah masalah yang sebelumnya tak terpantau pun menjadi lebih terpantau selepas mereka memiliki pengetahuan. Contohnya, ungkap Anita, umumnya saat murid mengalami pelecehan atau kekerasan seksual, mereka akan diam saja. Pasalnya, mereka bisa saja tak mengetahui, atau melihatnya sebagai hal yang memalukan untuk dialami. Sementara, pasca mendapatkan edukasi, mereka jadi mengetahui apa yang salah dan benar, serta tahu apa langkah yang perlu dilakukannya.
“Jadi ada teman perempuan yang diremas payudaranya oleh teman laki-laki dari kelas sebelah. Sebelumnya, Ketika ada kejadian semacam ini anak-anak cenderung menutup diri karena merasa malu, tapi karena saat di kelas 7 dia sudah mendapatkan materi SETARA, maka dia berani bersuara berani bercerita dan menyampaikan hal tersebut,” kisah penulis buku ‘Serunya Belajar Kespro dengan Modul Setara’ tersebut.
“Waktu itu, disampaikan langsung ke saya sehingga bisa langsung diberikan penanganan baik untuk pelaku maupun untuk korban. Jadi ketika anak-anak mendapati hal-hal yang kurang pas atau sesuai, itu mereka punya keberanian untuk menyampaikan hal itu tanpa merasa khawatir. Jadi mereka semacam punya power untuk bersuara,” tegasnya.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Ani. Ani melihat sejumlah permasalahan yang berkurang secara signifikan, khususnya berkaitan dengan MKM. Selain itu, masalah perundungan atau bullying juga turut berkurang selepas mereka mendapatkan pengetahuan mengenai perundungan.
“Ketika materi bullying, itu anak-anak juga merasa yang terjadi pada dirinya itu ternyata salah satu bentuk bullying yang mereka tidak tahu, baik mereka sebagai pelaku atau korban,” ujar Ani.
Dalam pembahasan mengenai materi tersebut pun, salah satu muridnya menyampaikan kepada Ani, “saya nggak tahu kalau mau manggil teman dengan kata gendut itu perundungan karena teman bertubuh gendut. Saya pikir itu lucu-lucuan saja. Ternyata itu salah satu bentuk bullying”.
Atas pengalamannya tersebut, Anita pun menilai bahwa pemberian edukasi mengenai kespro merupakan salah satu intervensi dan langkah krusial yang penting. Pasalnya, salah satu akar besar atas ragam permasalahan remaja adalah ketidaktahuan.
“Saya merasa penting sekali ini untuk disampaikan ke peserta didik karena ini ilmu-ilmu yang langsung berkaitan dengan kehidupannya sehingga menjadi bekal dia untuk menjalani masa depannya dengan sehat,” tegas Ani.
Dalam sembilan tahun pengalamannya untuk menyampaikan materi kespro, Ani pun mengalami sejumlah tantangan. Tantangan terbesar yang dihadapinya adalah ketidaktahuan yang dimiliki oleh anak sebelumnya juga banyak dialami oleh orangtua dan orang-orang di lingkungan anak. Dengan itu, seolah tercipta tabrakan nilai antara apa yang diajarkan oleh sekolah dan lingkungan atau rumah.
“Misalnya, terkait dengan kesetaraan gender dan bullying, yang faktanya di anak-anak tadi itu mereka merasakan, melihat, atau mengalami. Jadi dia melihat tabrakan nilai ini nyata banget. Misalnya, kita mengajarkan anak-anak untuk menghindari sebagai pelaku maupun korban dari ketidakadilan gender atau kekerasan atau bullying, tetapi ketika itu terjadi, mereka mengadunya ke mana?” ujar Ani.
Ani menemukan masih banyak masyarakat yang menormalisasi berbagai bentuk perundungan, ketimpangan gender, hingga kekerasan. Saat anak berhadapan dengan lingkungan yang menormalisasi permasalahan-permasalahan tersebut, anak pun tetap akan kesulitan untuk mencari ruang aman. Bahkan, anak bisa saja tidak mendapatkan validasi saat menjadi korban dari permasalahan tersebut.
“Itu masih menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama karena saat anak mengadu itu ke orang dewasa baik ke guru atau orang tuanya itu responnya tidak sesuai yang diharapkan oleh anak-anak. Misalnya, mereka cerita kalau mereka di-bully karena gendut, tapi responnya malah ‘ya sudah sih, kan kamu emang gendut’, padahal kan dia merasa tidak nyaman,” pungkasnya.
Sekali pun, Ani menekankan bahwa bekal pengetahuan anak merupakan langkah awal menuju perubahan yang penting. Setidaknya, anak memiliki bekal untuk dirinya dan masa depannya. Namun, ke depannya, Ani menilai penting untuk melibatkan orangtua dalam pemberian materi ini. Tujuannya, agar terbentuk semakin luas lingkungan yang memiliki perspektif kespro yang baik.
“Perlu kita pikirkan juga orangtua atau orang dewasa sehingga ketika anak-anak merasa ada yang ingin didiskusikan, itu matching dengan apa yang dibutuhkan dan harusnya diberikan kepada anak,”ujar Ani.