Ribet, berbelit, dan tidak terintegrasi, itulah citra implementasi program-program pemerintah, termasuk di Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS). Apalagi di masa satu dekade lalu, periode ketika belum ada pedoman PKRS di tingkat kebijakan maupun satuan pendidikan.
Bila boleh dianalogikan, kondisi PKRS kala itu ibarat mati segan, hidup tak mau. Programnya ada, anggarannya tersedia–meski ala kadarnya, namun tak punya target nyata, sehingga seperti sia-sia belaka. Namun cerita perubahan dimulai dari sana, ketika Rutgers masuk membawa SETARA.
SETARA, akronim dari Semangat Dunia Remaja, menjadi cikal bakal perjalanan PKRS positif tanpa adanya tabu moralitas. Ia juga menjadi pencetus perlindungan hukum tentang pencegahan perkawinan anak di beberapa wilayah Indonesia. Modul pendidikan kespro ini semacam petunjuk jalan bagi kemudi PKRS yang hilang kendali.
“Kita dulu sudah punya posyandu remaja tapi tidak efektif karena diadakan di pagi hari saat anak-anak sekolah. Jadi seperti ‘yang penting jalan’ namun sasarannya tidak tercapai,” cerita Erni Suryana, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (P3AKB) Lombok Barat.
Rutgers Indonesia organisasi yang berjuang di isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) menggunakan modul PKRS SETARA di sekolah dan desa-desa binaan Rutgers lewat beberapa program PKRS sebelumnya seperti UFBR (United for Body Rights), GUSO (Get Up Speak Out), Yes I Do.
Modul SETARA dibuat dengan mengadopsi pendidikan kespro Rutgers Belanda yang telah sesuai Pedoman Teknis Pendidikan Seksual Internasional atau International technical guidance on sexuality education (ITGSE). Pedoman internasional ini terstandarisasi Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
Kata Erni, pengetahuan remaja tentang PKRS di wilayah Lombok Barat bisa dikatakan minim. Kondisi tersebut membikin tingkat pernikahan dini dan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di sana tinggi. Sejatinya beberapa fasilitas kesehatan pertama seperti puskesmas memiliki program PKPR.
Namun, lanjutnya, tidak semua tenaga kesehatan di sana paham PKPR. Kendala berikut adalah mutasi tenaga kesehatan yang berkompeten dalam isu kespro. Di tempat tugas yang baru, mereka belum tentu memegang jabatan sebelumnya, sehingga mungkin tak lagi mengampu PKRS remaja.
“Satu lagi, karena diadakan di puskesmas, sementara stigma puskesmas hanya untuk orang sakit atau remaja nakal, maka jarang ada remaja mengakses konseling atau layanan kespro di sana,” lanjut Erni.
Lain itu di tingkat sekolah, edukasi PKRS dikatakan Erni hanya sebatas sosialisasi singkat. Tak ada peningkatan kapasitas pendidik serta keluarga. Pun juga, materinya seperti “ketinggalan zaman”. Hampir semua daerah menghadapi permasalahan sama dalam memasukkan kurikulum PKRS.
Kabid Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Denpasar, Tri Indarti menambahkan permasalahan lain di tingkat pemangku kepentingan: tidak terintegrasi. Mereka memiliki program PKRS masing-masing dan semuanya seperti berjalan sendiri-sendiri.
“Satu lagi, karena diadakan di puskesmas, sementara stigma puskesmas hanya untuk orang sakit atau remaja nakal, maka jarang ada remaja mengakses konseling atau layanan kespro di sana,” lanjut Erni.
Ketika SETARA masuk ke Lombok Barat lewat program Yes I Do, banyak perubahan signifikan di lingkup pemangku kepentingan dalam memandang PKRS. Program-program yang tadinya cuma formalitas belaka, kini hidup.
Sekarang posyandu remaja di empat desa binaan Rutgers digerakkan langsung oleh para remaja dan digelar di sore hari. Kabar dari Erni menyebut mereka lebih aktif membuat permainan dan program pemberdayaan remaja. Petugas kesehatan hanya tinggal memfasilitasi dan mengawasi jalannya posyandu.
“Program kespro remaja jadi terlihat mengasyikkan, dan memang seharusnya begitu.”
Lebih lanjut di tingkat regulasi, Lombok Barat berhasil menetapkan beberapa aturan pembatasan perkawinan anak dari provinsi hingga tingkat desa. Bermula dari Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 30 Tahun 2018 Tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak. Kemudian menyusul Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Pendewasaan Usia Pernikahan. Lalu terakhir Perda Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Di wilayah otoritas yang lebih kecil, beberapa desa di Lombok Barat juga telah menerapkan peraturan desa (Perdes) pencegahan perkawinan anak. Mereka juga secara khusus menyisihkan anggaran desa untuk kegiatan remaja yang berkaitan dengan kespro.
“Rutgers membantu kami mendorong regulasi dengan mengacu hasil penerapan SETARA. Terbukti dari kajian di sekolah, kenakalan remaja berkurang, bahkan ada sekolah yang angka perkawinannya nol,” papar Erni saat memberi bukti konkret implementasi SETARA di berbagai tingkatan.
Lain itu di wilayah Bali, pemerintah daerahnya telah membuat perjanjian kerjasama dengan Rutgers untuk meneruskan implementasi SETARA di tingkat sekolah menengah. Mereka juga berencana menambah jumlah pelatihan kespro kepada guru sebagai peningkatan kompetensi pendidik.
“Program SETARA saat ini sudah berjalan di 14 sekolah negeri di Denpasar. Kami maunya ini meluas ke 76 sekolah swasta juga,” tambah A.A Gede Agung Wiratama, Kepala Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) Kota Denpasar turut berkomentar.
Sudah kadung jatuh hati, begitulah kesan mendalam yang ditinggalkan SETARA. Modul edukasi kespro ini terbukti memberi hasil positif, mengubah perspektif remaja, guru, orangtua, juga pemangku kebijakan terkait urgensi PKRS di semua lini. Saking cintanya, beberapa daerah menginisiasi perluasan implementasi SETARA secara mandiri.
Misalnya saja Semarang, modul SETARA sudah masuk ke program dinas pendidikan. Mereka menargetkan dalam setahun modul ini harus diterapkan di 30 sekolah berbeda.
“Di sekolah ramah anak pendidikan SETARA ini masuk indikator penilaian. Kalau dipetakan, penerapan PKRS di Semarang sudah di atas 70 persen dari target kami,” ungkap Fajriah, Kepala Seksi Kurikulum dan Penilaian SMP Dinas Pendidikan Kota Semarang.
Semarang tengah menuju pengimplementasian PKRS di seluruh sekolah kota tersebut, meski dengan permasalahan krusial yang dirasakan semua daerah: anggaran. Terlebih saat pagebluk Covid-19 melanda, slot pembiayaan program teralihkan untuk pendanaan pandemi.
“Kita sangat dukung PKRS dengan SETARA, kita kolaborasi dan berkomitmen siap memberi anggaran khusus dari APBD Kota Semarang.”
Keterbatasan anggaran memang menjadi masalah krusial penerapan program, apapun itu. Disdikpora Denpasar pun mengeluhkan hal serupa, menurut Agung, masalah ini membikin target pemberdayaan PKRS pada pendidik mandek.
“Kami awalnya mau menambah jumlah guru untuk diklat pendidikan kespro ini, tapi apa daya anggaran harus dipotong karena Covid,” kata Agung.
United Nation Population Fund (UNFPA), organisasi di bawah naungan PBB yang berfokus pada kesehatan seksual dan reproduksi mengamini hal tersebut. Mereka menyebut ada tiga masalah utama penerapan UNFPA di Indonesia, anggaran menduduki puncak batu sandungan.
“Dulu mungkin tantangannya adalah ketidakpahaman, ketabuan. Sekarang hampir semua setuju PKRS, masalahnya justru belum ada komitmen finansial (dari pemerintah) sehingga belum jadi prioritas pendidikan,” tutur Sandeep Nanwani, Program Officer bidang Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja UNFPA Indonesia.
Dua tantangan lainnya menurut Sandeep adalah kapasitas sistem dan kurikulum. Kapasitas sistem yang ia maksud terkait kapabilitas pendidik. Ia melihat penerapan PKRS di Indonesia masih berbasis ancaman. Guru lebih sering menakut-nakuti siswa ketimbang memberi pedagogi kritis.
Padahal harusnya PKRS diberikan dengan pengajaran berbasis pengalaman. Pengajar menggali nilai dari peserta didik agar dapat berdaya mengambil keputusan sehat terkait kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Kondisi tersebut dibuat makin runyam dengan keterbatasan kurikulum.
“Belum ada ruang untuk pengembangan kespro, jadi selama ini hanya ditempel di muatan lain. Idealnya kan PKRS itu terintegrasi di penilaian nasional.”
Selama ini UNFPA sebagai representasi badan PBB memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pemerintah di negara tertentu, mendorong mereka membuat kebijakan terkait kesehatan seksual dan reproduksi. UNFPA merupakan salah satu penyusun ITGSE.
Di Indonesia, UNFPA bersama dengan Rutgers dan tiga kementerian terkait: Kemenkes, Kemendikbudristek, dan Kemenag bekerja sama membuat standar modul PKRS nasional–yang diadopsi dari modul SETARA. Mereka juga mendorong masuknya program PKRS ke Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
Lain itu, masyarakat Jawa Timur yang kental nilai agamanya kerap salah mengartikan norma pernikahan anak. Mereka menormalisasi pernikahan dini untuk menghindari zina. Hampir mirip dengan Jawa Timur, di Lombok, suku Sasak masih memperbolehkan tradisi merariq kodeq yang memperbolehkan seorang laki-laki membawa lari perempuan untuk dinikahi.
Namun ada persepsi yang salah dalam memahami tradisi ini. Akibat ketidaktahuan atau bahkan unsur kesengajaan, merariq dijadikan dalih adat untuk menikahi perempuan di bawah umur. Padahal cara tersebut justru menyalahi adat karena sejatinya merariq kodek perlu persetujuan antara pihak laki-laki dengan perempuan, juga diawasi ketat oleh tetua adat.
Dalam tradisi merariq, terdapat prosesi memaling atau selarian. Alih-alih “menculik” atau “kawin lari”, memaling diartikan bersembunyi atas dasar kesepakatan antara orang tua perempuan dengan anaknya yang telah cukup umur. Dalam prosesi ini calon mempelai laki-laki wajib membawa keluarga perempuannya untuk menemani calon mempelai perempuan.
Dari segi umur, laki-laki harus sudah mempunyai 25 ekor kerbau atau sapi, sementara perempuan mampu memintal kapas menjadi benang, ditenun menjadi songket sejumlah 144 lembar, lalu menjualnya. Jika dihitung berdasar usia dewasa, merariq baru bisa dilakukan oleh perempuan berumur 22 tahun ke atas.
Fase remaja adalah masa peralihan krusial dari kanak-kanak menuju dewasa. Dalam tahap ini remaja mengalami banyak perubahan, termasuk kematangan fisik, mental-emosional, sosial, dan kognitif. Proses pencarian jati diri dan informasi seksualitas dimulai pada titik ini
“Hidup di zaman dulu dan sekarang kultur dan tantangannya beda. Anak sekarang jika tidak diberi tahu dasar yang benar akan berbahaya karena dihujani informasi bertubi-tubi, sementara orang tua tidak bisa mengejar informasi tersebut,” ungkap Siswanto Agus Wilopo, guru besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Perawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menurut Siswanto, dari seluruh informasi tidak resmi yang diterima remaja tentang seksualitas, sebanyak 75 persen kebenarannya tak bisa dipertanggungjawabkan. Remaja butuh edukasi yang komprehensif sebagai pegangan dalam mengambil keputusan tentang seksualitas mereka.
Idealnya PKRS diberikan sejak anak duduk di bangku sekolah dasar–tentunya menyesuaikan kurikulum pada tingkat umur tersebut–sebab permasalahan kespro mulai muncul pada periode remaja awal. Pada laki-laki terjadi perubahan bentuk tubuh, sementara perempuan ditambah dengan siklus menstruasi.
Tanpa bekal PKRS yang cukup, remaja–anak-anak yang baru saja diposisikan menjadi dewasa—bisa kebingungan dan terjerumus dalam informasi menyesatkan. Implementasi SETARA sebagai modul PKRS di tingkat pendidikan menengah awal dan atas ternyata terbukti mampu mencegah hal-hal semacam ini.
Kondisi tersebut tergambar dalam survei yang sengaja dibuat untuk mengukur perubahan perspektif remaja setelah implementasi SETARA, yakni Global Early Adolescent Study (GEAS). GEAS pertama diluncurkan pada tahun 2018 dan kembali dievaluasi pada tahun 2021 kemarin.
Data studi GEAS dikumpulkan dari tiga daerah, yakni Denpasar, Semarang, dan Bandar Lampung–daerah yang juga menjadi sampel cerita perubahan. Tiga lokasi penelitian tersebut diambil sebagai contoh lantaran memiliki latar belakang budaya-agama yang berbeda.
Islam yang lebih konservatif diwakili oleh daerah Bandar Lampung di Sumatera, kemudian budaya Hindu yang lebih terbuka terdapat di Denpasar, Bali. Keduanya dibandingkan dengan daerah Semarang, Jawa yang lebih general, termasuk dalam sisi globalisasi media cetak, elektronik, media sosial, serta pariwisata dan kontak dengan budaya non-asli.
“Perubahan yang paling terlihat di GEAS adalah perspektif remaja menjadi lebih positif dalam literasi dan komunikasi HKSR. Mereka lebih berani dan terbuka bicara kehamilan atau membahas soal HIV,” ungkap Anggriyani Wahyu Pinandari, koordinator studi GEAS sekaligus peneliti dari Pusat Kesehatan Reproduksi UGM.
Selain itu, para remaja juga memiliki kenaikan skor dalam melihat perubahan tubuh dan pubertas, perilaku seksual dan asmara, serta menekan perundungan. Singkatnya, penerapan modul SETARA telah berhasil mendobrak tabu seksualitas pada remaja.
Jika boleh mengutip pernyataan Eka, di Bali, contoh konkret cerita perubahan tercermin dari kesadaran remaja terhadap layanan Penyuluhan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Program PKPR di Puskesmas bertujuan untuk memberi konseling berbagai masalah kesehatan kepada remaja.
Sebelum SETARA diterapkan, tak ada remaja yang datang ke PKPR atas inisiatif pribadi. Perekaman di beberapa puskesmas di Denpasar menyebut nol akses pada layanan. PKPR hanya diakses ketika ada remaja yang datang ke puskesmas dengan tujuan berobat, lalu ditawari layanan tersebut.
“Setelah kita promosi (SETARA). Ya bisa dibilang peningkatannya 100 persen,” kata Eka.
Kini para remaja tidak cuma mengenal aspek biologi saja, seperti informasi cara penularan pada HIV atau proses terjadinya kehamilan. Tapi mereka turut memahami spektrum kespro lebih luas, misalnya tentang keberagaman seksualitas, relasi sehat, mengenal emosi, dan kesehatan mental.
Beriringan dengan SETARA, program di tingkat komunitas seperti pada program Power to You(th)–meski tidak memiliki studi khusus yang mengukur perubahan layaknya SETARA dengan GEAS–turut berkontribusi pada cerita perubahan.
Kata Rey, remaja perempuan telah bertransformasi menjadi garda terdepan perubahan ketika misalnya mendapati pernikahan anak di lingkungan mereka.
Kemudian para pemangku kepentingan di atasnya turut menentang praktik-praktik tersebut.
“Mereka jadi lebih aware ketika temannya berhenti sekolah karena dinikahkan. Mereka sadar bahwa ini harus dicegah, sehingga melapor ke guru SETARA atau pendidik sebaya,” lanjut Rey.
Setelah itu simulasinya berlanjut pada perundingan antara Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) kepolisian, kepala dusun, dan tokoh adat dengan orang tua korban pernikahan anak. Di tingkat sekolah, para guru di Lombok Barat juga berinisiatif untuk menyediakan pembalut sebagai pemenuhan hak kespro remaja perempuan.
Lalu bagaimana dengan cerita perubahan di tingkat kebijakan?
Benar bahwa tak semua remaja di Indonesia dapat merasakan cerita perubahan, sebab program SETARA memang belum diadopsi di semua wilayah Indonesia. Plus tidak masuk dalam kurikulum tetap, sehingga guru harus mencuri-curi waktu untuk memberikan materi SETARA.
Kami kemudian bertanya kepada Siswanto terkait peluang perubahan yang lebih luas pada tingkat nasional. Katanya hasil studi GEAS telah menjadi dasar advokasi lima kementerian, khususnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menyusun modul PKRS nasional.
Rencananya modul PKRS nasional ini akan berkiblat pada SETARA dan disebarkan di lebih 200 kabupaten/kota. Tak luput, pemerintah juga akan memberikan pembekalan PKRS kepada 5000 guru secara bertahap hingga tahun 2025.
“Jadi hasil GEAS sudah mempengaruhi penentu kebijakan, kita tinggal bersabar dan evaluasi. Ke depannya akan ada lebih banyak siswa dan sekolah yang menerima PKRS komprehensif,” kata Siswanto menaruh harapan.
Sampai saat itu tiba kita bisa memulai cerita perubahan dari titik terkecil: sekolah dan keluarga. Dan Rutgers telah mengawalinya dengan SETARA. Sebab keengganan membicarakan seksualitas hanya membiarkan remaja berjalan di lorong gelap.