Sobat Remaja, dalam sehari biasanya berapa kali, sih kita seharusnya mengganti pembalut saat menstruasi? Kalau jawabannya mengganti setiap empat sampai lima jam, Sobat Remaja benar sekali. Pasalnya ahli kesehatan menyarankan agar pembalut rutin diganti tidak hanya untuk menghindari ‘kebocoran’ darah haid. Tetapi, untuk membersihkan bau tidak sedap yang mengendap dalam pembalut akibat kondisi lembab, bakteri dan menjaga kondisi kering serta higienis di daerah organ reproduksi. Rutin mengganti pembalut juga dapat menghindari kita dari infeksi jamur, iritasi pada kulit, sampai infeksi saluran kencing dan reproduksi.
Selain itu, ketika mengganti pembalut, Sobat Remaja ingat enggak orang tua selalu menyarankan untuk membersihkannya lalu dilapisi dengan tisu atau plastik pembungkus pembalut yang baru sebelum dibuang ke tempat sampah yang berbeda. Tentunya agar kuman, bakteri, dan bau tidak enak tak saling bercampur.
Akan tetapi, ketika tempat sampah khusus pembalut itu tidak tersedia, kadang ada yang membuang bekas pembalut ke lubang kloset yang menyebabkan saluran air tersumbat. Selain itu, kloset menjadi kotor dan tidak dapat digunakan. Karenanya, sangat penting untuk mengetahui Manajemen Kebersihan Menstruasi atau MKM, soal cara membuang dan menjaga lingkungan sekitar agar tetap bersih, Sobat Remaja.
Namun, ketika kita sudah tahu untuk membuang sampah di tempatnya, pernah enggak Sobat Remaja bertanya ke mana, sih sampah pembalut itu pergi?
Dari Rumahku ke Tempat Pembuangan Akhir
Di Indonesia, sampah rumah tangga termasuk pembalut, umumnya berakhir Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020 mengeluarkan data kalau mayoritas sampah berasal dari rumah tangga sebanyak 37,4 persen. Selanjutnya, produsen sampah dua terbesar datang dari pasar tradisional dengan 16,4 persen.
Sementara data dari Biyung Indonesia, sebuah lembaga yang bergerak di pelestarian lingkungan dan perempuan menemukan, ada sekitar 70 juta perempuan menstruasi aktif yang menggunakan 20 lembar pembalut setiap bulannya. Jika diakumulasikan ada sekitar 1,4 miliar sampah pembalut dan per tahun bisa mencapai 16,8 miliar sampah pembalut (Mogabay).
Jadi, Sobat Remaja bisa ngebayangin berapa banyak sampah bekas pembalut yang kita produksi setiap bulan.
Namun, dari sekian banyaknya sampah pembalut, bekas pembalut akan bertumpuk dengan sampah lainnya di TPA. Mengambil contoh Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang yang menerima sekitar 7.424 ton sampah per hari dari DKI Jakarta pada 2020. Di antara tumpukan sampah yang bentuknya berbukit di Bantar Gebang ada bekas pembalut yang belum dipilah dan langsung ditimbun dengan sampah lainnya.
Sementara sampah bekas pembalut sampai popok perlu penanganan khusus agar tidak bercampur dengan sampah lainnya dan menimbulkan polusi udara dengan bau busuk.
Sampah yang bertumpuk juga bisa membawa penyakit bagi orang-orang yang bersentuhan langsung dengan bekas pembalut, loh Sobat Remaja.
Waste4Change, sebuah lembaga yang fokus pada daur ulang sampah, menyatakan walaupun sampah seperti pembalut, popok, maupun tisu, telah dibersihkan. Masih ada kesempatan adanya kotoran yang tertinggal di materi itu dan menjangkit orang lain.
Mengutip dari pemberitaan Kompas, pencari nafkah yang memungut barang bekas akan memilih sampah sanitasi, seperti pembalut maupun popok dengan sampah yang dapat didaur ulang. Situasi itu bisa membuat mereka berada di posisi rentan sebab dapat terpapar dengan salmonella atau parasit yang dapat menyebabkan hepatitis sampai tetanus.
Sampah Pembalut Sulit Terurai Secara Alami
Sampah pembalut yang dibiarkan menumpuk tentunya menjadi isu besar apalagi pembalut sulit terurai secara alami. Nyatanya, hampir 90 persen dari komposisi pembalut terbuat dari plastik.
Walaupun pembungkus produk menstruasi jarang menyertakan apa saja komposisi pembalut, pada umumnya menstrual pad atau sanitary napkins terbuat dari super absorbent polymers (SAPs) untuk menyerap cairan. Selain itu, ada juga perforated polythene atau plastik berlubang di bagian atas dan bawah pembalut, dan serat sintetis.
Bahan-bahan dari plastik tersebut membuat pembalut butuh sekitar 500 sampai 800 tahun agar bisa benar-benar hancur (Peberdy, Jones, & Green, 2019).
Selain itu, Sanitation for Millions, sebuah proyek global untuk kebersihan menuliskan dalam laporannya Sanitation for Millions’ Approach towards Menstrual Waste Management, 6,3 persen sampah menstruasi berada di sungai maupun pinggir pantai. Sampah-sampah itu kemudian menimbulkan masalah baru, Sobat Remaja!
Akibatnya, muncul oksidasi dan eutrofikasi yang termasuk sebagai pencemaran air akibat munculnya nutrisi berlebihan yang mengurangi kualitas ekosistem perairan. Selain itu, bekas produk menstruasi dari plastik itu perlahan-lahan akan hancur menjadi mikroplastik akibat terpapar sinar matahari.
Mikroplastik kemudian ditemukan dalam perut biota laut maupun unggas yang hidup dekat perairan. Lebih lanjut, chlorine bleach atau pemutih yang digunakkan di bantalan pembalut juga dapat mencemari air tanah, loh Sobat Remaja.
Kita Butuh Manajemen Kebersihan Menstruasi yang Sehat
Sanitation for Millions juga menuliskan, minim dan buruknya manajemen sampah bekas pembalut diakibatkan oleh faktor sosial-budaya yang menabukan menstruasi. Manajemen pembuangan sampah pembalut pun menjadi urgensi agar lingkungan tidak lagi tercemar.
Kalau di India, pemerintah mereka meminta agar produsen pembalut menyediakan pembungkus khusus untuk membuat pembalut. Namun, kebijakan tersebut justru menambah masalah penguraian dan pembuangan bekas pembalut. Karenanya, pemerintah India menganjurkan pembakaran bekas pembalut sebagai solusi.
Akan tetapi, ada resiko kesehatan jika pembakaran dilakukan dengan temperatur rendah. Pasalnya, bahan pemutih pada pembalut akan mengeluarkan dioksin atau racun yang muncul saat pembakaran yang berefek pada kesehatan. Sanitation for Millions berujar, jika sering terpapar dioksin, maka akan berdampak pada kerusakan kulit, menyebabkan penyakit yang menyerang sistem imun, sampai berpengaruh pada fungsi reproduksi, seperti mengganggu keseimbangan hormon.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menyarankan, jika melakukan pembakaran sampah bio-medis, maka dilakukan dengan suhu sekitar 850 derajat celcius untuk standar Eropa dan Afrika Selatan. Sementara 1000 derajat celcius untuk standar Thailand dan India untuk benar-benar menghancurkan zat-zat beracun itu.
Akan tetapi, pembakaran pembalut juga masih diperdebatkan apakah sudah menjadi solusi paling tepat. Pasalnya, jika dilakukan pembakaran butuh pertimbangan berapa jumlahnya, seberapa sering, dan bagaimana kontrol emisi dari pembakaran.
Karena itu, ada satu solusi lagi untuk mengurangi sampah pembalut, Sobat Remaja. Misalnya menggunakan menstrual cup yang bisa dipakai sampai 12 jam atau dibersihkan dua kali dalam sehari. Selain itu, jika dirawat dengan baik menstrual cup bisa bertahan sampai sepuluh tahun.
Atau Sobat Remaja bisa menggunakan pembalut kain yang terbuat dari kapas dan dapat dicuci untuk digunakan kembali. Kalau di Indonesia, ada Biyung Indonesia yang memproduksi pembalut kain. Lembaga itu juga mengajak perempuan di pedesaan untuk membuat pembalut kain mereka sendiri sebagai solusi pembalut kain yang ekonomis.
Menstrual cup dan pembalut kain menjadi cara sederhana untuk green menstruation, Sobat Remaja. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang itu, yuk baca artikel selanjutnya soal apa saja, sih alternatif pembalut ramah lingkungan yang bisa kita gunakan.
Referensi:
Databoks. (2020). Mayoritas Sampah Nasional dari Aktvitas Rumah Tangga pada 2020. Diiakses melalui: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/29/mayoritas-sampah-nasional-dari-aktivitas-rumah-tangga-pada-2020
Down To Earth. (2021). Sanitary Napkins: Why Biodegradable is Not The Same As Compostable. Diakses melalui: https://www.downtoearth.org.in/blog/environment/sanitary-napkins-why-biodegradable-is-not-the-same-as-compostable-80657
Elledge, Myles F et al. “Menstrual Hygiene Management and Waste Disposal in Low and Middle Income Countries-A Review of the Literature.” International journal of environmental research and public health vol. 15,11 2562. 15 Nov. 2018, doi:10.3390/ijerph15112562
Healthline. (2019). Everything You Need to Know About Using Menstrual Cups. Diakses melalui: https://www.healthline.com/health/womens-health/menstrual-cup
Healthline. (2020). How Often Should You Change Your Pad? Diakses melalui: https://www.healthline.com/health/menstruation/how-often-should-you-change-your-pad
Mongabay. (2021). Begini Dampak Pembalut Sekali Pakai Bagi Kesehatan Perempuan dan Lingkungan Hidup. Diakses Melalui: https://www.mongabay.co.id/2021/01/02/begini-dampak-pembalut-sekali-pakai-bagi-kesehatan-perempuan-dan-lingkungan-hidup/
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Manajemen Kebersihan Menstruasi. Panduan kebersihan Menstruasi Bagi Guru dan Orang Tua. Diakses melalui: https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2019-05/MHM%20Guidance%20for%20Teacher%20and%20Parents-PMRC-Recommendation.pdf
Kompas (2021). Alasan Mengapa Perempuan Dilarang Buang Pembalut Sembarang. Diakses melalui: https://www.kompas.com/parapuan/read/532848640/alasan-mengapa-perempuan-dilarang-buang-pembalut-sembarangan#:~:text=Dikutip%20dari%20Hindustan%20Times%2C%20alasan,digunakan%20itu%20bersifat%20non%2Dbiodegradable.
Peberdy, Elizabeth, Aled Jones, & Dannielle Green. (2019). A Study into Public Awareness of The Enviornmental Impact of Menstrual Products and Procut Choice. Sustainability Journal, Vol.11, Issue 2.
Sanitation for Millions. Sanitation for Millions’ Approach towards Menstrual Waste Management: Sanitation for Millions Approach to Menstrual Health.