Bagikan Artikel ini
SobatASK - Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Kamu Gak Sendirian!

Yang Bermasalah dari Pernyataan Kapolri

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”DENGAR”]

Baru-baru ini, ada berita yang bikin kami tepok jidat banget. Dalam sebuah wawancara dengan BBC Indonesia (19/10), Kapolri Jendral Tito Karnavian menyatakan bahwa wajar saja jika penyidik kepolisian bertanya apakah korban pemerkosaan “merasa nyaman” selama pemerkosaan.

Supaya kamu bisa mengambil keputusan sendiri, berikut pernyataan Kapolri Tito Karnavian secara lengkap, diambil langsung dari sumber beritanya.

“Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menyatakan dalam kasus pemerkosaan, terkadang polisi harus bertanya kepada korban, apakah merasa baik-baik saja setelah diperkosa dan apakah selama pemerkosaan merasa nyaman.

“Pertanyaaan seperti itu yang biasanya ditanyakan oleh penyidik sewaktu dalam pemeriksaan, untuk memastikan, apakah benar korban diperkosa atau hanya mengaku diperkosa, untuk alasan tertentu,” jelas Tito.”

Pernyataan Kapolri ini langsung menuai kecaman keras dari warganet. Pernyataan Kapolri membuktikan bahwa kepolisian belum memihak pada korban pemerkosaan (yang kebanyakan perempuan) dan cenderung membela pelaku (yang mayoritas laki-laki). Meskipun baru saja kemarin (24/10), Kapolri mengadakan pertemuan dan mengklarifikasi istilah yang digunakan dalam bahasa Inggris, yakni “comfortable”, namun, hmm rasanya kok sama-sama bermasalah.

Berikut alasan mengapa pernyataan maupun klarifikasi dari Kapolri itu bermasalah.

 

 

Korban akan Semakin Takut Melapor

Seperti dilansir VICE Indonesia, 93% korban perkosaan enggan membuat laporan ke polisi. Dari segelintir yang masih berkenan melapor ke polisi, hanya 1% yang percaya bahwa kasus tersebut akan diselesaikan melalui jalur hukum.

Tentu, penyidik perlu mengusut kasus pemerkosaan secara tuntas dan menyeluruh. Namun, asumsi bahwa korban “hanya mengaku diperkosa untuk alasan tertentu” berbahaya banget jika ternyata korbannya sudah diperkosa.

Perjalanan seorang korban untuk memberanikan diri melapor ke pihak berwajib itu enggak gampang, lho. Tak sedikit pelaku pemerkosaan yang mengintimidasi dan melakukan teror kepada korban agar tidak melaporkan.

Kekerasan apa pun bakal meninggalkan trauma yang luar biasa–apalagi kekerasan seksual. Jika korban harus mengalami interogasi yang begitu tidak sensitif dari pihak penyidik kepolisian, luka yang belum sembuh itu bisa terbuka lagi.

Padahal, pada saat bersamaan jumlah pendamping khusus korban kekerasan seksual di kantor polisi masih kurang. Sebagian kantor polisi tidak punya pendamping karena mereka kurang dana atau karena tidak ada sumber daya manusia yang cakap untuk itu.

Jadi, sudah korban trauma, dibikin tambah sakit karena pertanyaan penyidik yang nyebelin, tidak ada pula konselor yang bisa mendampingi mereka.

 

 

Kepolisian Tidak Menghormati Posisi Sulit Korban

Berita tentang pernyataan Kapolri ini jadi berita paling dibaca di BBC Indonesia. Berita paling dibaca nomor dua? Laporan tentang pemerkosaan TKI di Taiwan. Kisah TKI ini mungkin bisa menjelaskan posisi sulit korban.

Ery (bukan nama sebenarnya) diperkosa oleh majikannya di Taiwan tak lama setelah tiba di sana untuk kerja. Karena ia berhutang banyak pada makelar yang membawanya ke Taiwan, ia terpaksa tetap bekerja di tempat majikannya. Ia diperkosa berulang kali, setidaknya 3-5 kali seminggu.

Kenapa dia tidak melapor, meski ia sudah jelas-jelas diperkosa?

Pertama, hukum di Taiwan tidak melindungi TKI. Pemerintah tidak ambil pusing soal nasib para TKI, mereka menyerahkan pengawasan nasib TKI kepada para makelar dan makelar ini pasti memihak majikan. Kedua, yang lebih miris lagi, Ery malu. Berikut pernyataannya ke wartawan BBC Indonesia:

“Budaya di kampung halaman, orang-orang berpikir perempuan yang telah diperkosa itu kotor. Saya merasa malu dan kotor. Saya khawatir orang-orang akan memandang saya dengan rendah. Saya tidak ingin bercerita kepada siapa pun. Bahkan hingga kini saya tidak bercerita kepada ibu saya karena dia akan sangat sedih jika tahu”.

Sampai sekarang, kalau ada korban pemerkosaan, masyarakat kita cenderung mempertanyakan korban ketimbang mempersoalkan pelaku. Kenapa dia keluar malam-malam, kan dia cewek? Kenapa dia pakai baju yang seperti itu? Kok bisa dia diperkosa berulang kali? Jangan-jangan itu suka sama suka?

Masalah lainnya, pembuktian pemerkosaan harus melalui proses uji visum untuk melihat bukti-bukti pemerkosaan di tubuh korban–misalnya, bekas sperma, bekas luka, dan lain-lain. Nah, gimana kalau korban itu diperkosa hari Senin, tapi baru berani melapor hari Sabtu? Sudah hilang semua dong bekas-bekasnya?

Pernyataan ngawur dari Kapolri Tito Karnavian menunjukkan bahwa Kepolisian Indonesia tidak menyadari dan tidak menghormati posisi sulit korban. Stigma dan rasa takut inilah yang harus dilalui korban sebelum mereka memberanikan diri melapor ke polisi–dan seringkali, toh pelaku hanya mendapat hukuman yang tidak seberapa, atau kasus tersebut gagal dibuktikan di kepolisian.

Sebagai perwakilan sekaligus pejabat tertinggi dari institusi kepolisian, harusnya Kapolri Tito Karnavian bersikap memberikan contoh baik bagi bawahannya. Supaya ke depannya, kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat dituntaskan secara tepat, tidak dengan menyalahkan, apalagi memberi trauma tambahan pada korban.

 

 

Sumber
vice.com
magdalene.co
bbc.com

Ingin Mendapatkan Kabar Terbaru dari Kami?

Berlangganan Nawala Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Artikel SobatASK Lainnya

Jelajahi berbagai informasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi remaja dari sumber yang terpercaya.

Kamu Gak Sendirian!
Logo Yayasan Gemilang Sehat Indonesia - Full White

Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Kami percaya bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi manusia harus dilihat secara positif tanpa menghakimi dan bebas dari kekerasan.

Keranjang
  • Tidak ada produk di keranjang.