Beberapa waktu lalu, ulama-ulama perempuan dari seluruh Indonesia berkumpul di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamiy di Babakan Ciwaringin Cirebon untuk momen yang bersejarah: Kongres Ulama Perempuan Indonesia alias KUPI! Kongres ini adalah ajang pertemuan dan merapatkan barisan buat ulama-ulama perempuan Indonesia yang sudah lama ikut menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat–mulai dari kekerasan seksual, pernikahan usia anak, hingga perusakan alam dan radikalisme.
Salah satu hasil musyawarah dari kongres ini adalah soal pernikahan usia anak. Berikut isinya!
Pernikahan anak wajib dicegah.
Selama ini, masalah pernikahan anak memang jadi isu yang kontroversial di tengah masyarakat. Banyak banget yang menentang terjadinya pernikahan anak, namun faktanya praktik tersebut masih terjadi pada perempuan di Indonesia. Malah, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2014, sekitar 11,75% perempuan berusia 15-19 tahun sudah menikah atau pernah menikah.
Jelas, menikah di usia semuda itu ada banyak risikonya, mulai dari segi kesehatan fisik, hingga psikis. Maka, hasil musyawarah dari KUPI secara terang-terangan mewajibkan kita semua mencegah pernikahan anak.
“…pernikahan anak terbukti membawa kemadharatan sehingga wajib hukumnya mencegah. Ada pun pihak yang mempunyai tanggung jawab melakukan pencegahan pernikahan anak adalah orang tua, keluarga, masyrakat, pemerintah, dan negara.”
Korban pernikahan anak wajib dilindungi secara hukum.
Ada dua hal yang rancu di Indonesia. Menurut UU No. 1 tahun 1974, batas minimal seorang perempuan boleh menikah adalah saat ia berusia 16 tahun. Padahal, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebut bahwa anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk masih dalam kandungan.” Artinya?
Secara teknis, Indonesia memperbolehkan pernikahan anak.
Nah, kenyataan hukum yang rancu inilah yang dibantai habis-habisan oleh hasil musyawarah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Mereka menyatakan secara tegas bahwa:
“…korban pernikahan anak tetap mendapatkan haknya mulai dari pendidikan, kesehatan, pengasuhan juga perlindungan. Untuk itu KUPI merekomendasikan agar pemerintah mengubah UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan terkait dengan batas minimal seorang perempuan boleh menikah dari semula 16 tahun menjadi 18 tahun.”
Masuk akal dong, kalau usia minimal untuk pernikahan dinaikkan jadi 18 tahun? Selain karena di usia tersebut seseorang lebih siap secara psikis dan fisik untuk menikah (walau belum sepenuhnya), secara hukum seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah itu masih dianggap anak-anak. Bagi KUPI, kalau kita serius ingin mencegah pernikahan usia anak dan melindungi anak-anak, undang-undang yang ketinggalan zaman itu harus direvisi segera.
Membatasi konten pornografi.
Selain menaikkan usia minimal pernikahan serta melakukan pencegahan terhadap pernikahan anak melalui instrumen negara maupun masyarakat, KUPI juga punya permintaan khusus: agar pemerintah serius memberantas konten yang berbau pornografi.
“Kemenkominfo diharapkan mampu memberantas konten-konten pornografi yang berpotensi meningkatnya hubungan seksual di luar nikah atau hubungan seksual anak di bawah umur.”
Bagi KUPI, jika konten pornografi dibatasi atau bahkan diberantas sepenuhnya, risiko terjadinya perilaku seksual berisiko dan pernikahan anak bakal berkurang. Bagaimana menurut kalian?
Kongres tersebut dihadiri lebih dari 500 peserta dari berbagai latar belakang dan berlangsung pada 25-27 April 2017 lalu di Cirebon, Jawa Barat. Disaksikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, para ulama perempuan yang hadir di kongres bersejarah ini enggak mau tinggal diam melihat perempuan didiskriminasi, dipinggirkan, dan dianggap masyarakat kelas dua.