Cekrak sana, cekrek sini!
Foto selfie bareng teman memang sangat menyenangkan. Apalagi kalau sudah bermain dengan efek filter yang beragam macamnya di media sosial, seperti Instagram, Snapchat, atau TikTok. Foto kita yang tadinya ‘biasa’ aja, jadi lebih lucu kalau dibubuhi telinga kucing, mahkota bunga, atau sengaja dibuat-buat mirip kartun Disney.
Tapi pernah enggak, Sobat Remaja mencoba filter, namun wajah yang terpampang di layar ponsel versi diri kita yang berbeda? Mata jadi lebih bulat dan cerah, kulit lebih halus tanpa celah, dan secara keseluruhan wajah kita lebih kencang dan tirus. Dengan instan, filter semacam ‘membenarkan apa yang dianggap salah’ di wajah kita.
Tidak bisa dimungkiri, kadang filter membuat wajah jadi lebih menarik. Tanpa perlu merias atau melakukan perawatan kulit wajah, kita bisa memiliki Instagram Face atau tipe wajah yang diidamkan Instagram–kulit tanpa pori, bibir merah yang bulat, dan mata dengan sorotan yang tajam–secara instan.
Selain itu, saat kita menelusuri fitur jelajah di media sosial, banyak orang dari seluruh dunia yang ikut menunjukkan versi Instagram Face mereka. Karenanya, ikut bermain filter menyenangkan, terlebih jika menggunakan filter untuk sekedar lucu-lucuan saja.
Akan tetapi, ketika kecantikan ada di ujung jari dan kita bisa mengubah bagian wajah yang tidak disukai hanya dengan menggesek layar. Menurut Sobat Remaja, apakah bermain filter akan berpengaruh pada rasa cinta diri?
Standar Kecantikan Media Sosial dan Eurosentrisme
Sobat Remaja, saking dekatnya kita dengan filter, rasanya kurang afdol kalau mengunggah foto tanpa beauty filter di media sosial. Apalagi kalau likes dan komentar yang memuji mulai berdatangan dan memberikan rasa senang tersendiri. Namun, pernah enggak Sobat Remaja bertanya mengapa beauty filter membuat wajah kita terasa asing?
Penelitian “Do I Look Like My Selfie”: Filters and the Digital-Forensic oleh sosiolog digital serta visual asal Kanada, Christine Lavrence dan Carolina Cambre mengemukakan, filter secara otomatis membuat kulit kita jadi lebih putih, hidung mancung, dan wajah yang mulus. Misalnya Tiktok dengan filter Glow Look yang juga membuat kulit jadi tanpa celah, hidung kecil dan mancung, serta bulu mata lentik.
Akan tetapi, filter yang ‘memutihkan’ kulit itu tidak hanya di media sosial loh, Sobat Remaja. Tapi, ada juga di kamera beberapa ponsel yang menggunakan sistem Android. Melihat fenomena tersebut, media Nylon menyebut alasan filter dengan wajah tanpa celah itu menjadi tren virtual tidak jauh dari standar kecantikan eurosentris yang masuk ke media sosial. Lalu kecantikan eurosentris itu apa, sih?
Untuk menjawab itu, Sobat Remaja pasti tidak asing dengan iklan produk kecantikan yang modelnya harus berkulit putih, berambut lurus, dan langsing bagaikan boneka barbie. Tiga karakteristik itu merupakan fitur wajah dan tubuh khas orang Eropa yang dijadikan standar ideal kecantikan global. Standar kecantikan itu dipengaruhi masa kolonialisme, di mana orang Eropa dianggap ada di kedudukan paling tinggi dan dijadikan patokan oleh negara dan budaya lain.
Begitu pula di Indonesia, kecantikan standar eurosentris itu merupakan peninggalan masa penjajahan. Karenanya, Sobat Remaja pasti biasa mendengar komentar, “Ih, kamu iteman, deh!” untuk orang yang kulitnya berwarna kecokelatan.
Pun saat seseorang yang tidak memiliki fitur eurosentris, seperti orang Asia dan Afrika, bermain filter wajahnya menjadi asing dan kentara bentuk rekayasa digital sebab sejak awal tidak diperhitungkan sebagai standar kecantikan.
Jika melihat garis besarnya, media sosial menunjukkan posisinya sebagai tempat yang ikut menetapkan standar kecantikan eurosentris dengan beauty filter.
Beauty Filter dan Tidak Puas dengan Diri Sendiri
Sobat Remaja, walaupun bermain filter memang menyenangkan, kecantikan instan yang ditawarkan beauty filter ada sisi negatifnya. Biasanya dimulai dengan rasa tidak puas dan suka membandingkan sebab kita tidak mirip dengan versi yang muncul di filter. Lalu membuat kita mencari-cari lebih banyak celah dan menganggap rendah diri sendiri karena tidak memenuhi syarat kecantikan, wajah tanpa pori-pori yang sebenarnya tidak realistis.
Pun, rasa percaya diri kita akan semakin jatuh dan dapat memicu body dysmorphic disorder, sebuah kondisi mental yang membuat seseorang berpikir ada yang salah dengan tubuh mereka (Magdalene, 2021). Selain itu, menurut beberapa dokter bedah plastik, kecantikan khas filter memulai fenomena Snapchat Dysmorphic atau meningkatnya permintaan operasi plastik agar terlihat mirip dengan filter di media sosial.
Lalu, menurut Sobat Remaja gimana cara bermain filter dengan baik?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan memakai filter sesekali. Namun, kalau sudah merasa tidak percaya diri saat posting foto tanpa filter, itu bisa menjadi tanda untuk mempertimbangkan apa fungsi dari beauty filter itu sendiri. Apakah kita posting selfie karena merasa percaya diri atau filter itu yang membuat kita merasa percaya diri, meski tidak menunjukkan versi kita yang sebenarnya?
Psikolog Renee Engeln dalam bukunya Beauty Sick menuliskan, ketika terus memaksakan diri untuk sesuai dengan standar kecantikan, kita akan menilai jelek diri sendiri sampai merasa sulit dicintai. Bahkan bisa membuat kita berpikir hidup bergantung pada penampilan fisik saja. Karenanya dia mengatakan, salah satu cara membangun rasa self love dengan mengurangi komentar semacam ‘“Ih, aku jelek deh,” kepada diri sendiri.
Selain itu, di media sosial upaya cinta diri juga didorong dengan kampanye posting foto tanpa filter untuk meningkatkan rasa percaya diri. Model Lou Northcote, misalnya, dengan kampanye dengan tagar #freethepimple tiga tahun lalu. Selain itu, perias dan model Sasha Pallari dengan kampanye #filterdrop dua tahun lalu.
Sobat Remaja juga bisa mengurangi interaksi dengan konten yang memiliki dampak negatif, seperti membuat kita sering membandingkan diri dengan standar kecantikan media sosial.
Kalau menurut Sobat Remaja, gimana sih cara paling tepat merayakan cinta diri tanpa terpatok beauty filter? Yuk, tulis di kolom komentar.
Referensi:
BBC. (2020). Instagram Photo Filters Targeted by Model’s #Filterdrop Campaign. Diakses melalui: https://www.bbc.com/news/uk-england-bristol-53784938
Chen, Toby dkk. (2020). Occidentalisation of Beauty Standards: Eurocentrism in Asia. Across The Spectrum of Socioeconomics Vol.1, Issue 2. Diakses melalui: https://projects.iq.harvard.edu/files/isl/files/occidentalisation_of_beauty_standards_eurocentrism.pdf
Engeln, Renee. (2017). Beauty Sick: How The Cultural Obsession with Appearance Hurts Girls and Women. Harper Collins.
Lavrence, Christine & Cambre, Carolina. (2020). “Do I Look Like My Selfie?”: Filters and the Digital-Forensic Gaze. Social Media + Society. 6. 205630512095518. 10.1177/2056305120955182.
Magdalene. (2021). Standar Kecantikan dan Bahaya ‘beauty Filter’ di Kamera Ponsel. Diakses melalui: https://magdalene.co/story/Standar-Kecantikan-Instan-Beauty-Filter-Kamera-Ponsel-efek-jangka-panjang
Mashable India. (2021). TikTok Beauty Filters Can Be Super Realistic–Unless You’re A Person of Color. Diakses melalui: https://in.mashable.com/tech/24013/tiktok-beauty-filters-can-be-super-realistic-unless-youre-a-person-of-color
Nylon. (2020). The Problems With Instagram’s Most Popular Beauty Filters, From Augmentation to Eurocentrism. Diakses melalui: https://www.nylon.com/beauty/instagrams-beauty-filters-perpetuate-the-industrys-ongoing-racism
Samsara News. (2018). Twisted Beauty Standards in Indonesia. Diakses melalui: https://samsaranews.com/2018/10/31/twisted-beuty-standards-in-indonesia/
WebMD. ‘Snapchat Dysmorphia’: Seeking Selfie Perfection. Diakses melalui: https://www.webmd.com/beauty/news/20180810/snapchat-dysmorphia-seeking-selfie-perfection