Ditulis oleh:
Jefri Setyawan (peserta IYDC 2014 dari Sebaya PKBI Jawa Timur)
Satu kata pertama kali tiba di Bumi Kedaton adalah… gajah. Mana gajah? Ah, sudahlah barangkali besok-besok bisa bertemu gajah. Tapi ada satu hal yang lebih penting dari keinginan bertemu gajah. Indonesian Youth Diversity Celebration 2014… I’m Coming!
Kesempatan terpilih dari seleksi abstrak di kegiatan ini saya pergunakan dengan sangat baik. Terutama dapat saling mengenal berbagai latar belakang dan budaya peserta setiap daerah. Selain itu, mungkin saja ada beberapa isu keberagaman yang akan menambah pengetahuan baru. Termasuk pada hari pertama IYDC 2014 ini. Di hari pertama, sesi “From Zero to Hero” mengajak kami untuk mengenal priawan yang merupakan bagian dari identitas gender. Tanpa pemanasan dulu, oleh Eky Falax kita disajikan fenomena yang sungguh membuat kita terdiam. “Ternyata ada lho, waria versi perempuan…,” bisik salah satu peserta. Pada sesi ini dijelaskan bahwa konsep priawan diadopsi dari gender laki-laki yang dikonsep masyarakat pada umumnya.
Kemudian yang mengejutkan adalah bagaimana sebuah ekspektasi gender yang terlalu tinggi berpotensi terhadap timbulnya kekerasan. Di sesi yang sama, Enny Nadya memperkenalkan Sexual Reproductive Health and Right (SRHR) bagi remaja. Kak Enny membangkitkan semangat kami, bagaimana remaja seharusnya mengambil sebuah tanggung jawab, dalam satu persatuan tanpa membeda-bedakan. Kemudian untuk mendukung peran perempuan dan menghentikan kekerasan, perlunya pelibatan laki-laki juga diamini oleh Syaldi Sahude dari Aliansi Laki-laki Baru. Dari ketiga perbincangan narasumber ini, banyak berbagai pengetahuan yang kami rasa cukup baru. Mulai dari sosok priawan, menjadi remaja yang “hero”, hingga laki-laki yang perlu juga ambil peran menghentikan kekerasan.
Peserta yang lolos seleksi abstrak pada IYDC 2014 ini terbagi dalam beberapa panel yang akan memaparkan materinya. Di hari pertama, lima orang peserta secara bergantian menceritakan kontribusi yang dilakukannya. Pertama, ada Reiki (Mahasiswa UGM) yang mengulas permasalah kekerasan pada difabel perempuan, Ella (PKBI DKI) menjelaskan betapa pentingnya keberlanjutan program remaja melalui youth forum, Resya (Aliansi Remaja Independen Makassar) tentang penyelenggaraan Makassar Youth Axidutainment, kemudian Putra (Pontianak) yang menjelaskan bagaimana kepatuhan ARV memengaruhi psikologis ODHA LSL di Kota Pontianak, dan yang terakhir di hari pertama adalah Ririn yang memaparkan stretegi Advokasi SRHR. Menjelang malam, suasana di hari pertama semakin lengkap ketika semua peserta IYDC 2014 melakukan flashmob dance4life. Berbagai lagu-lagu serta penampilan akustik menghibur kami malam itu.
Pada hari kedua (16 Desember 2014), sesi pagi hari kembali dibuat heboh dengan kedangan narasumber yang begitu nyentrik. Dalam tema “I’m a Survivor”, para narasumber adalah mereka yang yang selama ini banyak berjuang dan berkontribusi terhadap orang di sekitarnya. Narasumber berasal dari waria, aktivis perempuan, serta trainer muda. Mereka menceritakan bagaimana sebuah hambatan bisa dilalui dan bertahan hingga mereka bisa berdiri menjadi pembicara saat ini. Hampir banyak cibiran, konflik sosial, dan juga pergolakan batin berhasil ditaklukkan. Tak ada kata yang bisa menggambarkan perjuangan mereka selain kata ‘hebat’ yang patut diberikan. Usai berpusing dengan materi, kemudian kami diajak untuk lebih dekat dengan alam. Tema acara selanjutnya adalah outbond. Kita pun semakin mengenal peserta-peserta lain di sesi ini. Beberapa permainan tak terlepas dari nilai-nilai kehidupan; kerjasama, komunikasi, dan percaya. Believe each other, lah..
Setelah outbond, kelas dipisah menjadi dua, yaitu panel “Keberagaman Seksualitas (LGBTIQ)” dan “Sexual and Gender Based Violence (SGBV)” di sesi pertama, lalu panel “Media” dan “Pelibatan Laki-Laki” dalam promosi kesetaraan gender. Pada sesi pertama, yang sangat berkesan adalah kontribusi yang dilakukan oleh Agung Purnomo (PKBI DIY) yang mengawal kasus Pelecehan Seksual oleh oknum guru ke ranah hukum. Tentu sebagai orang muda hal ini perlu mendapatkan perhatian serta mampu dijadikan tolok ukur bahwa dengan cara apa pun kita bisa berbuat baik kepada sekitar. Selain itu, yang menarik perhatian sangat besar datang dari panel Media. Terdapat tiga narasumber yang memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan pesannya. Ali Marwansyah (Lombok) yang telah menggunakan strategi stand up comedy dalam proses sosialisasi kondom. Kemudian pesan keberagaman disampaikan dalam bentuk drama musikal diperkenalkan oleh I Nyoman Cakrawibawa (Kisara Bali) serta aplikasi “Kini Aku Tahu!” sebagai media interaktif masalah HIV AIDS dipresentasikan oleh Aziz (Kojigema). Sungguh banyak sekali cara yang kreatif jika kita pikirkan lebih dalam. Ketiga narasumber muda semakin membuka pikiran kita bahwa penyampaian pesan tidak lagi sebatas pamflet atau poster, tapi juga bisa melalui cara kreatif seperti yang mereka lakukan. Proud of them!
Hingga pada hari ketiga, seluruh peserta menceritakan hal-hal apa saja yang sudah mereka lakukan untuk sebuah perubahan di lingkungannya. Mulai dari menjadi relawan mengajar di sekolah tapal batas, menjadi relawan dance4life, hingga beberapa orang yang berani secara terang-terangan mengangkat kebiasaan suku tertentu yang masih dijumpai pernikahan dini di dalamnya. Terlepas dari semua kekurangan selama acara, penyelenggaraan Indonesian Youth Diversity Celebration 2014 sangatlah berkesan. Di sini kita saling mengenal perbedaan, membuatnya lebih bermakna, tanpa stigma dan diskriminasi. Ketika ditanya sesi mana yang paling menarik selain di kelas? Jawabannya adalah sesi coffee break, hehehe! Selain kita bisa bersantap ria, banyak pembelajaran dari masing-masing peserta yang dibagikan dalam lingkaran meja.
Kembali ke daerah masing-masing, semoga kita masih ingat, setiap remaja akan menjangkau lima remaja di daerahnya. Sang Bumi Ruwa Jurai, dari sini perjuangan kita dimulai!