“Saya baru tahu lho, kalau istri sedang tidak mau berhubungan, dia boleh menolak dengan baik-baik ke suami, dan suami harus memahami.” Kata Bu Yuti di sela-sela pelatihan. Saat ini usia perkawinannya sudah melewati tahun ke-7. Selama beberapa kali mengikuti Kelas Ibu yang diadakan di rumah Kades, Bu Yuti merasa mendapat banyak sekali pencerahan. Begitu juga dengan suaminya, Pak Kabul. “Selama ini saya belajar berkomunikasi dengan istri saya kan dari kakak-kakak perempuan saya. Tapi rupanya masih ada saja yang saya belum ketahui.” Materi yang paling diingat oleh laki-laki yang berasal dari Temanggung ini adalah pengelolaan emosi terutama rasa marah. Dulu dia pikir kalau emosi ya bisa langsung diluapkan begitu saja, apalagi dia merasa sebagai orang yang paling berkuasa di rumah, kepala keluarga. Tapi di Kelas Ayah dia belajar tentang relasi kuasa, bagaimana kalau yang kuat bisa marah sesukanya, sementara yang lemah kalau marah hanya bisa ngedumel. Dia jadi paham mengapa istrinya seperti itu.
Lalu tentang seksualitas, dengan jujur Pak Kabul mengaku bahwa dia jadi merasa bersalah pada istrinya karena seringkali main “serang” ketika menginginkan untuk berhubungan seks. Ini adalah hal baru yang bukan hanya Kabul dan Yuti saja yang mendapatkannya di kelas-kelas diskusi komunitas. Banyak peserta lain yang manggut-manggut merefleksikan pada kehidupan perkawinan mereka masing-masing. Setelah mengikuti 9 dari 10 kali Kelas Ayah yang diselenggarakan di Desa Jetis, Pak Kabul mengaku masih seperti biasanya. Hanya saja sekarang kalau diminta untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau mengasuh anak, ia melakukannya tidak sambil ngedumel, walaupun dari dulu juga sudah sering melakukannya.
Selain itu, Pak Kabul merasakan bahwa sekarang di rumah tangga semakin ada pembagian kerja dan juga pembagian peran. Misalnya ia mencuci piring sementara Bu Yuti mencuci baju. Demikian juga dalam hal memberi makan ternak mereka, ketika Pak Kabul tengah capek, maka Bu Yuti-lah yang akan memberi makan hewan-hewan ternak mereka. “Sekarang juga kalau ngobrol sama Yuti sama anak, saya lebih rileks. Nggak tahu kenapa.” Dan Pak Kabul juga mengatakan kalau dia sekarang selalu ingin lebih dekat dengan anaknya, walaupun sering terhalang kesibukan pekerjaan. Bu Yuti sendiri membenarkan bahwa suaminya memang berubah. Sekarang ketika diminta melakukan pekerjaan rumah tangga tidak keberatan dan mau melakukannya. Juga dalam hal hubungan seksual, Yuti mengaku sekarang suaminya bisa mengerti dan menerima dengan baik ketika Bu Yuti sedang tidak menginginkannya. “Tapi ya itu, kalau udah lama nggak ikut kelas, masih suka lupa dia,” katanya sambil tersenyum.
Lalu perubahan apa yang dirasakan oleh Bu Yuti setelah mengikuti 10 kali Kelas Ibu di Desa Jetis? Bu Yuti merasa sekarang komunikasinya dengan suami menjadi lebih baik dibanding sebelumnya. “Sekarang saya bisa mengkomunikasikan segala hal dengan suami saya,” akunya. Soal pengasuhan anak porsinya masih lebih banyak dilakukan oleh Bu Yuti dibanding suaminya. Yang jelas sekarang, Bu Yuti rajin mencari informasi tentang cara pengasuhan anak yang paling tepat buat anaknya. Dia juga jadi lebih jarang membentak anak semata wayangnya. “Rupanya kalau kita bicara halus, anak malah jadi lebih menurut,” katanya.
Sementara di mata Pak Kabul, sekarang ini istrinya kalau diajak bicara sudah mulai bisa mendengarkan. “Dulu setiap saya bicara selalu dipotong duluan, sehingga apa yang ingin saya sampaikan jadi tidak masuk. Sekarang ini istri saya jadi lebih mendengarkan dan tidak terlalu terbawa emosi,” cerita Pak Kabul tentang perubahan Bu Yuti. “Selain itu, istri saya juga jadi lebih memahami pekerjaan saya yang setiap hari harus ngelaju ke kabupaten lain, dan kalau saya sedang capek pun, istri saya mau bergantian memberi makan ternak,” lanjutnya berbinar-binar. “Sekarang kalau saya ada rencana atau keinginan istri saya selalu mendukung. Beda dengan dulu yang malah digembosi dengan kekhawatiran dan ketakutannya kalau rencana atau keinginan saya itu tidak akan berhasil,” Pak Kabul menambahkan. “Selain itu, dulu istri saya itu kalau saya yang ngomong seringnya tidak percaya, harus orang lain dulu yang ngomong. Tapi sekarang, dia lebih langsung mengkonfirmasikan ke saya, misalnya dengan bertanya, ‘benar ya Pak seperti itu’,” terang Pak Kabul.
Pak Kabul adalah salah satu peserta yang menurut fasilitator paling rajin mencatat. Dia juga yang menyarankan peserta lain untuk mencatat, karena menurutnya begitu sampai di rumah kadang suka lupa dengan informasi yang didapat sebelumnya. “Kalau ada catatan kan bisa tinggal dibaca lagi untuk mengingatnya,” katanya memberi alasan. Sementara itu Bu Yuti mengusulkan untuk lebih sering mendatangkan narasumber dari luar, karena dia suka belajar tentang teori parenting yang belum pernah didengarnya.
Di akhir program diskusi ini, sebuah kegiatan yang diberi judul Temu Pasangan mempertemukan peserta Kelas Ayah dan Kelas Ibu untuk saling mengungkapkan perasaan dan keinginan terhadap pasangan masing-masing. Ketika salah satu berbicara, yang lain harus mendengarkan dulu tidak boleh menginterupsi. Pak Kabul mengatakan, bahwa di situlah titik baliknya. “Acara Temu Pasangan waktu itu membuat saya jadi lebih terbuka dengan istri saya. Banyak hal yang saya lakukan maupun yang tidak saya lakukan ternyata diinginkan atau tidak diinginkan oleh istri saya. Sebaliknya, saya juga bisa mengungkapkan perasaan dan keinginan saya terkait hal yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh istri saya,” demikian cerita Pak Kabul tentang acara Temu Pasangan yang diikutinya bersama istrinya dan tetangga-tetangganya para peserta diskusi kelas ayah dan kelas ibu lainnya. Berkeluarga itu kalau mau langgeng bahagia itu rupanya ada seninya, kata Kabul menambahkan. Suasana haru yang berakhir dengan ice breaking berupa berjoget dengan pasangan menutup seri Diskusi Komunitas di Desa Jetis dengan mimpi besar, semakin banyak pasangan yang merasakan manfaat dan berubah seperti Bu Yuti dan Pak Kabul.