“Dulu di Lampung ini, jangan harap kita bisa melihat pemandangan laki-laki menjemur pakaian atau memasak untuk keluarganya. Tabu!” Demikian Sapri Ende mengawali ceritanya. Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Batanghari Lampung Timur ini adalah saksi betapa patriarkinya budaya Lampung. Sapri mengakui bahwa dia sendiri juga bagian dari masyarakat yang dulunya turut mengekalkan budaya tersebut. Maka ketika Rahima dengan program Prevention+ masuk di tahun 2017, mempertemukan Sapri dengan kepala-kepala KUA di Lampung yang lain, ada resistensi yang dia rasakan. “Yang saya pikirkan tentang emansipasi waktu itu adalah sebuah gerakan sekuler yang perlu diwaspadai. Bawaan kita di pertemuan-pertemuan awal dengan Rahima dulu selalu alotlah.”
Sapri dan peserta pertemuan lainnya merasa gelisah. Seorang laki-laki Lampung tidak biasa untuk membantu pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci baju, menjemur baju, atau bahkan menggendong bayi atau anak. Lalu kalau ada kelompok sekuler datang mengubah itu semua, pasti akan berat dan banyak pertentangan dengan budaya yang berlaku selama ini. Sapri mengingat, saat-saat berdiskusi awal dengan fasilitator dari Rahima itu sebagai momen yang seru. Persepsi awal dia dan kepala KUA lainnya beradu dengan materi-materi yang dibawakan narasumber. “Sebenernya ketika diskusi, kita ada penguatan, tetapi kita masih curiga saja sama Rahima. Jadi kita cecer seolah-olah Rahima ini gerakan emansipasi wanita,” jelasnya.
Perubahan muncul perlahan, ketika ada materi tentang gender. Sapri dan peserta lain baru sadar bahwa ternyata gender itu bukan jenis kelamin, tidak kenal jenis kelamin. Tapi gender adalah hasil bentukan masyarakat. Jadi gender bukan terbentuk dari sananya. Sapri merasa bahwa yang paling mengena ketika ditanya, siapa yang terbaik di mata Allah, apakah suami apakah istri? Semua diam waktu itu. Ternyata yang terbaik adalah yang takwa. Jadi baik suami maupun istri berlomba-lombalah menjadi takwa dan saling membantu untuk menjadi takwa.
Semenjak itu Sapri mulai melihat tantangan baru yang akan dihadapinya, yaitu budaya patriarki masyarakat Lampung. Dalam kehidupan masyarakat di Lampung Timur, semua serba laki-laki. Laki-laki masih begitu dominan dalam setiap lini kehidupan. “Bayangkan, laki-laki gendong anak itu engga ada… tabu. Itu bukan pekerjaan laki-laki,” katanya. Bukan hanya menggendong anak, dalam tradisi Lampung juga tidak boleh menjemur pakaian, apalagi memasak makanan untuk istri dan keluarganya. “Ketika laki-laki melakukan pekerjaan itu maka harga dirinya sebagai suami berkurang. Tapi setelah ikut pelatihan, semua ini ternyata keliru,” lanjutnya.
Sapri akhirnya bisa memahami dan menerima bahwa istri adalah bagian dari kita, bersama kita, dan harus kita hargai dengan sebenar-benarnya. Perempuan punya hak untuk hidup, hak untuk berbuat, hak untuk mengembangkan diri. Sapri yakin kepala KUA lain yang sudah mengikuti pelatihan Rahima lebih paham bagaimana menghargai perempuan dan istrinya. Dalam pergaulan para kepala KUA di Lampung Timur bahkan lumrah beredar guyonan, “Berbahagialah istri-istri yang suaminya ikut pelatihan Rahima.”
Istri-istri di Lampung, menurutnya, masih belum setara dengan laki-laki. Apalagi jika perempuan ikut bekerja di wilayah publik, karena di rumah juga dia dituntut mengerjakan semua pekerjaan domestik. “Sedikit banyaknya kita berusaha untuk menerapkan kesalingan,” kata Sapri. Begitupun saat orang tua mempunyai anak. Jenis kelamin tidak boleh dipertentangkan. Punya anak laki-laki bukan suatu kebanggaan atau sebaliknya punya anak perempuan bukan suatu kehinaan. Yang penting bagi orang tua adalah bagaimana mendidik anak menjadi yang terbaik.
Pemahaman seperti itu kemudian dia coba sebarkan kepada masyarakat, utamanya kepada para calon pengantin. Dalam penasehatan, disampaikan nilai-nilai baru yang dia dapatkan dari pelatihan Rahima. Tentang lima pilar pernikahan dan terutama kesalingan. “Intinya kesalingan. Penekanannya begitu. Ada kewajiban suami, ada kewajiban istri, ada kewajiban bersama. Kewajiban bersama ini kan kesalingan. Mencintai bukan hanya kewajiban suami atau istri saja, tetapi kewajiban kedua belah pihak. Saling mencintai, saling membantu, saling monolog, saling kerja sama, saling berkorban untuk mencapai tujuan bersama, sakinah, mawadah, warohmah,” jelas Sapri. Kesalingan, menurut Sapri, adalah pengertian yang paling simple dan mudah diterima masyarakat. Dia sengaja belum menggunakan istilah mubadalah karena dia nilai masih sulit diterima masyarakat. “Kesalingan dalam semua aspek termasuk dalam mengasuh anak dan membantu pekerjaan istri,” katanya.
Untuk bisa memberikan petuah pada orang lain, Sapri memulai dari dirinya sendiri. Sekarang dia lebih aktif mengasuh anak, tak lagi ragu untuk menjemur pakaian dan dilihat orang lain. Tabu itu pelan-pelan dia minimalisir. Dia tahu betul kendala besar untuk menyebarluaskan itu menghadang di depan. Melawan tradisi tidak pernah mudah. Begitupun tradisi bahwa suami tidak pantas untuk menggendong anak, mengasuh anak, dan lain-lain. Hadangan itu terutama datang dari pemuka-pemuka agama yang terus mendakwahkan cara-cara lama melihat peran-peran laki-laki dan perempuan. Menurutnya para pemuka agama ini juga harus diedukasi, karena zaman terus berubah. Mereka tidak bisa lagi memakai paradigma lama dan terus memberikan tausiyah yang patriarkis. Pengetahuan ini, menurutnya, harus lebih dulu dipraktikkan oleh para pemimpinnya dulu, termasuk dia sebagai kepala KUA. Pertama yang harus dilakukan adalah menguatkan keluarga sendiri baru kemudian bisa ditularkan kepada pasangan calon pengantin. Hal itu dilakukannya secara bertahap. Tidak bisa gradual.
Bersama dengan Rahima Sapri mengumpulkan materi-materi pendek untuk bisa disampaikan di penasehatan dan sebagainya. Sapri berharap di KUA Batanghari ada pusat pelayanan pengantin untuk para pasangan pengantin yang bermasalah. Di tempat itu, pasangan pengantin bisa melakukan konsultasi jika ada masalah yang mengganggu perkawinan sehingga diharapkan tidak terjadi perceraian. Dari KUA dia berharap pemahaman masyarakat yang sedemikian patriarki akan berubah menjadi lebih adil. Setelah Sapri sudah “mampu” menggendong anak, selanjutnya dia ingin agar suami-suami lain Lampung mau menggendong anak-anaknya tanpa merasa hina. Tidak ada tabu lagi untuk berbagi peran, bersama-sama mewujudkan keluarga sakinah.