Diperingati setiap tanggal 8 Maret, International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional atau Hari Perempuan Sedunia merupakan salah satu hari terpenting bagi perempuan. Sejarah hari besar ini berawal sejak awal tahun 1900-an, lebih tepatnya pada tahun 1908. Kala itu, 15,000 perempuan turun memenuhi jalanan New York untuk menuntut jam kerja yang lebih pendek, pendapatan yang lebih baik serta hak untuk memilih. Momen ini merupakan pemantik terbentuknya Hari Perempuan di Amerika Serikat.
Satu tahun setelahnya yaitu pada tahun 1910, Konferensi Internasional Perempuan Buruh kedua diadakan di Kopenhagen, Denmark. Saat itu, perempuan asal Jerman bernama Clara Zetkin menggagas tentang Hari Perempuan untuk diperingati seluruh dunia. Setiap tahunnya, semua negara harus memiliki satu hari besar yang ditujukan untuk mendesak pemenuhan hak-hak perempuan. Dalam konferensi yang dihadiri oleh lebih dari 100 perempuan dari 17 negara tersebut, lahirlah Hari Perempuan Sedunia.
Tidaklah sampai tahun 1975, PBB turut memperingati Hari Perempuan Sedunia. Pada tahun 1997, PBB mulai menetapkan tema-tema untuk menjadi fokus tuntutan kampanye sedunia. Tema pertama yang diusung merupakan “Celebrating the Past, Planning for the Future” atau “Merayakan Masa Lalu, Merencanakan Masa Depan” yang kemudian diikuti oleh tema-tema lainnya untuk menuntut pemenuhan hak-hak perempuan hingga saat ini.
Pada tahun 2022 ini, Hari Perempuan Sedunia mengangkat tema #BreaktheBias atau dalam konteks lokal adalah #MendobrakBias. Rutgers Indonesia mewawancarai beberapa teman mitra program kami dari Power to You(th), Right Here Right Now II, dan Generation Gender untuk berbagi cerita mereka terkait dengan #MendobrakBias.
Tema #MendobrakBias ini diangkat mengingat bias gender masih sangatlah kental dalam kehidupan sehari-hari kita, seperti yang diungkapkan oleh Inayah (Pamflet Generasi). Menurutnya, bias gender masih sering terjadi di lingkungan sekitarnya. Meski begitu, pemahaman tentang bias gender atau stereotip gender itu sendiri pun baru Inayah kenali saat menginjak usia remaja. Sama halnya dengan Ferny (LBH APIK Jakarta), yang mengungkapkan bahwa konsep gender baru ia sadari saat duduk di bangku SMA.
Bias gender, seperti yang dikutip dari Koalisi Perempuan Indonesia (2011) adalah pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya sebagai akibat pengaturan dan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada jenis kelamin tertentu. Selaras dengan cerita Egga (Yayasan SEMAK) yang berbagi pengalamannya tentang bagaimana ia merasa bahwa pemimpin perempuan masih sering dipandang sebelah mata. Perempuan yang pernah menjadi ketua Palang Merah Remaja (PMR) saat duduk di bangku SMK itu mengungkapkan bahwa saat ia diajukan sebagai pemimpin PMR, banyak guru yang menentang lantaran perempuan dianggap lebih cocok menjadi anggota daripada memimpin organisasi. Namun berkat dukungan dari salah satu guru, Egga berhasil meyakinkan para guru lainnya bahwa ia mampu memimpin organisasi PMR di sekolahnya.
Bias dalam konsep gender sangat lekat kaitannya dengan stereotip atau peran gender. Selama ini, pengotak-kotakan peran gender umumnya tentang bagaimana perempuan dan laki-laki harus berperilaku dinilai cenderung kaku menurut Lizza (Yayasan Kesehatan Perempuan). Padahal, Lizza menambahkan, peran tersebut masih bisa ditukar dan dinegosiasi kembali.
Stereotip gender yang sudah mengakar kuat di masyarakat bisa dibilang ada karena terbiasa. Seperti yang diceritakan oleh Yosephine (YIFoS), “Stereotip gender hadir bersamaan dengan budaya yang ada, dengan orang-orang atau sekeliling kita, … misalnya, .. saat ada satu [orang] yang kalah saat main petak umpet atau gobak sodor kemudian dia nangis, … terus orang di sekitarnya pada bilang ‘Kamu laki-laki jangan nangis dong, masa laki-laki kalah sih sama perempuan, jatuh. Tuh liat tuh, Yos aja ga nangis.’ Jadi, orang-orang sudah punya stereotype sendiri-sendiri bahwa cuma perempuan yang boleh menunjukkan sisi kelemahan, biar laki-laki yang diminta untuk menahan, gitu.”
Pengaruh lingkungan berperan besar pada konsep gender dalam seseorang, terutama lingkungan tempat individu dibesarkan. Hampir semua mitra yang kami wawancarai menjawab peran keluarga, terutama ibu dan orang tua adalah pengaruh terkuat dalam pemaknaan jati diri mereka sebagai perempuan. Menurut Lilis dan Laili, dua pemudi dari Rutgers Lombok mengaku bahwa pengaruh orang tua adalah yang utama dalam menentukan arah hidupnya, baik dari cara berperilaku, sampai bercita-cita. Pengaruh peran ibu sangatlah besar bagi Lilis. Menurutnya, ibunyalah sosok yang paling menginspirasi dan memberikan motivasi terbesar untuknya menjadi perempuan yang tegar, kuat, dan tangguh menghadapi hidup. Sedangkan untuk Laili, ia sangat terinspirasi oleh tokoh-tokoh perempuan seperti Najwa Shihab dan Merry Riana. Di usianya yang masih belia, Laili memiliki ketertarikan pada dunia politik, yang sayangnya masih didominasi oleh laki-laki, namun hal itu tidak menjadi beban pikiran Laili.
Cerita-cerita mitra kami membuktikan bahwa jalan perjuangan pemenuhan hak-hak perempuan masih panjang. Namun dengan semangat bersama, kita bisa wujudkan dunia yang inklusif dan adil gender. Mulai mendobrak bias, bersama-sama melawan ketidaksetaraan gender. Untuk dunia yang lebih baik, adil, dan bebas dari kekerasan.
Referensi:
IWD. (n.d.). History of international women’s day. International Women’s Day. Retrieved March 7, 2022, from https://www.internationalwomensday.com/Activity/15586/The-history-of-IWD
Koalisi Perempuan Indonesia. (2015, August 19). Bias gender. Koalisi Perempuan Indonesia. Retrieved March 7, 2022, from https://www.koalisiperempuan.or.id/2011/05/04/bias-gender/