[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”DENGAR”]
Ini fakta yang menyakitkan tapi nyata: setiap tahunnya, banyak banget perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia. Catatan tahunan 2017 dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa terdapat setidaknya 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan di Indonesia. Sementara itu, terdapat 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berujung pada perceraian.
Dari sekian banyak kekerasan ini, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah bentuk kekerasan yang paling ngetop (5.784 kasus), disusul kekerasan dalam pacaran (KDP) (2.171 kasus). Jadi, enggak heran kalau banyak instrumen hukum disiapkan agar korban KDRT dan KDP mendapatkan bantuan hukum serta konseling yang sebaik-baiknya agar mereka lekas pulih dari trauma.
Bagaimana dengan pelaku kekerasan? Masa kita biarkan pelakunya bebas begitu saja? Kalaupun dipenjara, apakah kita berharap bahwa penjara akan langsung memberi efek jera sehingga dia mendadak mengubah total perilakunya? Tentu enggak mungkin dan inilah alasan kenapa konseling bagi pelaku kekerasan jadi perbincangan serius. Kenali dulu fakta-faktanya, serta kenapa konseling Pelaku Kekerasan ini perlu ada.
Karena Kita Perlu Menyelesaikan Akar Permasalahan
“Selama ini fokus banyak program tertuju pada perempuan sebagai korban saja dan belum banyak program menyasar laki-laki pelaku kekerasan,” kata Irma S Martam dari Yayasan Pulih pada seminar Intervensi Pelaku Kekerasan Laki-Laki Peduli pada akhir tahun 2015. “Jika kita ingin menghapus kekerasan, kita juga harus bekerja dengan pelaku. Kita harus melibatkan laki-laki dan dengan demikian berusaha mengubah perilakunya agar laki-laki mengerti diri sendiri dan tidak melakukan kekerasan lagi.”
Intinya, kalau laki-laki sebagai pelaku utama kekerasan tidak dilibatkan dalam upaya untuk mengubah perilakunya, konseling untuk korban hanya bersifat mengobati, bukan mencegah. Hal yang sama akan terus berulang, tinggal tunggu korban berikutnya dari si laki-laki.
Bukan Berarti Tidak Ada Jeratan Hukum
Kalau kamu mengintip UU Penghapusan KDRT No. 23/2004 Pasal 50, memang ada komitmen dari pemerintah buat melakukan tindak pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Tapi, program baru seperti konseling pelaku bukan berarti pelaku lolos dari jeratan hukum. Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pelaku KDRT dan kekerasan tetap harus menjalani hukuman penjara sesuai dengan putusan hakim. Hanya saja, mereka bisa sekalian diwajibkan mengikuti program konseling seiring dengan hukuman penjara mereka.
Belum Tentu Disambut Baik Pelaku
Kebanyakan pelaku laki-laki, seperti ditulis di situs lakilakibaru.or.id, enggak akan mau begitu saja untuk ikut konseling semacam ini. Kebanyakan pelaku biasanya akan menganggap remeh persoalan, menyalahkan pihak lain, atau mencari pembenaran atas tindakan mereka. Oleh karena itu, di negara-negara lain seperti Amerika Serikat yang sudah menerapkan konseling semacam ini, konseling pelaku biasanya sepaket dengan hukuman penjara atau tuntutan hukum. Malah, kadang pelaku yang baru pertama kali bertindak kekerasan atau tindak kekerasannya tidak “parah” bisa saja tidak dipenjara, namun diwajibkan mengikuti konseling untuk mengubah perilakunya.
Berlaku untuk Pasangan non-Heteroseksual Juga
Konseling pelaku berlaku juga untuk pasangan yang tidak suami-istri, termasuk pasangan gay. Faktanya, kekerasan juga terjadi dalam relasi homoseksual dan dalam insiden seperti ini korban maupun pelaku sama-sama perlu mendapatkan konseling. Setidaknya di negara-negara lain yang sudah menerapkan konseling pelaku, pasangan gay juga masuk dalam perhitungan dan berhak–atau malah wajib–menjalani konseling.
Konseling Pelaku Masih Kontroversial
Pertama-tama, harus dipahami bahwa melakukan konseling pelaku kekerasan bukan berarti melupakan konseling korban. Langkah pertama yang harus diambil dalam kasus kekerasan apa pun adalah memastikan bahwa korban aman dan menjalani langkah-langkah pertama menuju kesembuhan mentalnya sendiri. Hal ini yang biasanya dikritik dari program konseling pelaku. Konseling buat korban saja belum oke, masa sudah memulai konseling untuk pelaku? Lebih jauh lagi, banyak yang berdebat sejauh mana korban sebaiknya dilibatkan dalam proses konseling pelaku. Sebagian bahkan bilang, korban sebaiknya tidak dilibatkan sama sekali.
Namun, meski penerapannya masih perlu diperbaiki, konseling pelaku kekerasan memang perlu dilakukan. Sekali lagi, kalau kita lupa menangani para pelaku, kita hanya mengobati tanpa mencegah. Pada akhirnya, pola pikir dan kebiasaan kekerasan yang ada di pikiran para pelaku memang harus kita akhiri.