Apakah kamu mendengar istilah femisida? Dewan HAM PBB mendefinisikan Femisida sebagai tindak pembunuhan perempuan yang disebabkan oleh kebencian, keinginan untuk menguasai, dan rasa menguasai atas diri perempuan. Femisida adalah hasil dari ketidaksetaraan gender yang masih mengakar di masyarakat.
Femisida berbeda dari pembunuhan pada umumnya, lho, sobatASK. Femisida penuh dengan unsur dominasi gender, penindasan, dan ketimpangan kekuasaan. Budaya patriarki menargetkan perempuan sebagai objek, bahkan hingga pada tahap pembunuhan. Cerminan patriarki juga bisa kita lihat dari motif pelaku, misalnya merasa cemburu, merasa harga dirinya terluka atas pilihan hidup korban, tidak bisa menerima penolakan perempuan.
Menurut data PBB, sebanyak 80% kasus femisida dilakukan oleh orang terdekat, lho, seperti pasangan atau mantan pasangan.
Menurut catatan Komnas Perempuan, terdapat 95 kasus yang diduga kuat sebagai femisida pada 2020. Jumlah ini meningkat menjadi 237 kasus pada 2021, lalu naik lagi menjadi 307 kasus pada 2022. Catatan tahun selanjutnya menunjukan ada 159 kasus femisida. Miris yah sobatASK, sudah banyak sekali perempuan yang menjadi korban femisida. Data ini hanya mencakup kasus-kasus terlapor, diangkat oleh media, dan bisa diidentifikasi. Bisa jadi, banyak kejadian yang tidak terdeteksi oleh masyarakat dan penegak hukum.
Ada lagi fakta mengejutkan nih sobatASK, menurut laporan Jakarta Feminist 2023, sebanyak 51% kasus femisida terjadi di ruang publik. Norma partiarki juga memengaruhi persepsi masyarakat akan ruang publik nih. Ruang publik ditempatkan sebagai “ruang laki-laki” sehingga dianggap “wajar” apabila perempuan yang ada di ruang publik mendapat ancaman dan harus diatur, misalnya, perempuan tidak seharusnya pulang tengah malam karena tidak aman, dan berpakaian sesuai harapan masyarakat agar terhindar dari kekerasan seksual. Aturan semacam ini adalah manifestasi dari ketidaksetaraan gender, menempatkan perempuan sebagai sasaran sejak awal.
Padahal, setiap individu harusnya diedukasi bahwa ruang publik adalah ruang yang harus dibagi kepada orang lain, tidak ada orang yang berhak melakukan kejahatan, termasuk kekerasan terhadap perempuan. Ruang publik seharusnya dirancang aman bagi siapapun yang berada di dalamnya.
Masalah lainnya, kata femisida belum banyak dikenal khalayak luas, sobatASK. Ditambah lagi, media massa sering kali tidak menunjukan keberpihakannya pada korban. Misalnya, ketika ada kasus kekerasan seksual atau bahkan pembunuhan perempuan, kerap kali pakaian, perilaku, atau pilihan hidup korban yang digiring sebagai pemicu terjadinya kejahatan tersebut. Tentunya, penggambaran semacam ini tidak adil. Motif utama femisida adalah rasa berkuasa atas perempuan,, yang berasal dari ketidaksetaraan gender. Berita yang tidak berperspektif gender membuat kita lupa akar masalah sesungguhnya dan mengalihkan kesalahan dari pelaku.
Meski sudah banyak kasus terjadi, sayangnya, belum ada peraturan yang khusus mengatur femisida. Kekerasan terhadap perempuan masih dianggap sama seperti kasus kriminal lainnya, SobatASK. Pada umumnya, kekerasan yang dialami perempuan akan masuk ke dalam lingkup KUHP, UU PKDRT, UU Perlindungan anak, UU TPPO atau UU TPKS. Dengan mendorong aturan yang mampu mengidentifikasi femisida, harapannya pelaku bisa mendapatkan hukuman yang lebih berat.
SobatASK, sebagai remaja, kita adalah agen penting untuk memutus rantai kekerasan. Karena itu, kita perlu belajar tentang hal-hal mendasar seperti HAM (Hak Asasi Manusia), relasi sehat, mengenali emosi, dan memahami kekerasan. Kita perlu memahami semua hal tersebut secara komprehensif untuk membangun dunia yang lebih aman, adil, dan ramah HAM. Dengan pemahaman yang baik, kita bisa menanamkan nilai yang baik pula dalam diri kita, misalnya, nggak ada seorang pun yang punya hak untuk merasa lebih berkuasa atas hidup orang lain, apalagi sampai melakukan kekerasan. Kita juga bisa sadar penuh bagaimana mengendalikan emosi ketika menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.
SobatASK, saatnya kita bangkit melawan femisida! Jangan biarkan ketidakadilan gender terus merenggut nyawa perempuan.